Ahmad jelas-jelas membaca
tulisan “Loket” di hadapannya. Meskipun agak usang, tapi masih kelihatan
huruf-huruf yang terpampang disitu. Keramaian di halte bus, tempat ia berdiri,
tidak membantu sekalipun. Sudah bertanya kepada beberapa orang, tapi dijawab
seadanya. Tidak ramah. Juga tidak niat.
“Mau apa?” Tiba-tiba wajah perempuan muncul di balik
celah kecil bilik loket itu. Kagetlah Ahmad, tapi pura-pura biasa saja.
“Saya mau pesan tiket.” Ahmad masih belum biasa dengan
sikap tidak bersahabat dari penduduk sini. Tak paham ia apa salahnya sehingga
orang berbuat demikian. Atau memang sudah tabiat mereka yang seperti itu.
Suara perempuan itu tidak terdengar lagi. Wajahnya juga
sudah menghilang. Lah, ditinggalinya Ahmad tercengang di depan loket.
“Permisi?”
“Punya orang tua tidak?”
Hanya muncul suara perempuan itu. Tak ada wajahnya sekarang.
Bingunglah Ahmad mau menjawab apa. Tak tahu harus bicara
jujur, atau berbohong. Di tempatnya dahulu, Ahmad belum pernah ditanya tentang
orang tuanya ketika membeli tiket bus. Mungkin ini prosedur yang harus dijalani
oleh semua penduduk di kota ini, tak terkecuali dirinya sebagai orang baru.
“Tak punya, Mbak.” Kejujuran yang ia ucapkan. Takut kalau
memang itu akan menjadi informasi penting untuk memesan tiket di kota ini.
Setelah itu, mulailah muncul pertanyaan lebih tak dimengerti lagi olehnya. Tentang
asal usul, kepemilikan barang, kecerdasan, yang barangkali memang ia miliki,
tetapi tak ada. Asal tahu saja, Ahmad yang yatim piatu ini, tak punya apa-apa,
selain harga dirinya, dan koper bekas peninggalan ayahnya. Karena itu ia kembali
ke rumah Bibi, yang konon katanya berada di kota R ini. Bibi yang bahkan
sekalipun tak pernah ia lihat wajahnya.
“Saya tidak mengerti,” nada perempuan itu gelisah. Ahmad
juga tak paham betul apa yang terjadi. “Kamu benar-benar orang yang paling
miskin yang pernah saya temui.” Bola mata yang muncul di balik loket itu
menelusuri kaki sampai kepala Ahmad, bingung.
Dalam hati, Ahmad tertawa. Perempuan yang aneh. Baru
pertama kali ia dihina oleh orang asing, tapi tak merasa sedikitpun terhina.
“Ya sudah. Cari saja bis yang mau ditumpangi. Saya tidak
peduli.” Ujarnya, lalu menghilang. Ahmad semakin tidak mengerti, tapi diiyakan
saja dulu. Ia pun mengantri layaknya penduduk kota itu.
Diperhatikan dengan seksama, penduduk-penduduk itu
wajahnya sama. Maksudnya, sama-sama manusia. Sama-sama berdaging, Sama-sama
suka bercanda. Sama-sama bisa marah. Entah mengapa, aneh ketika Ahmad berdiri
sendirian disitu. Seperti dirinya adalah alien, yang lainnya manusia.
Memang ramai halte bus itu. Sepertinya satu-satunya
transportasi yang ada hanya bus ini. Mau tak mau penduduknya harus pakai bus
untuk pergi kemana-mana. Di jalanan saja, tak satupun mobil lewat. Padahal
jalanan itu luas, tapi tidak digunakan. Entah mengapa.
Pikiran Ahmad pun liar, kemana-mana mencari tujuan. Ia
ingat betul pesan ibunya sebelum meninggal. Disuruh mencari Bibi di kota R.
Biar bisa makan gratis dan tinggal gratis pula. Awalnya, ia senang. Kapan lagi
dapat makan gratis dan tinggal tidak dipungut biaya. Meskipun begitu, Ahmad
masih tak mau meninggalkan mimpinya di kampung. Masih banyak mimpi yang belum
tercapai. Idealnya, Ahmad memang tinggal sendiri, tak bergantung kepada orang
lain. Ia sudah berumur. Bukan remaja yang harus disekolahkan. Apalagi anak
kecil yang harus dimandikan.
Pikirannya belum terlalu jauh diselami, sebuah bus sudah
datang.
“Bis Cepat Kaya! Bis Cepat Kaya!”
Heran Ahmad mendengar nama bus itu. Memang unik kota ini,
pikirnya. Beberapa penduduk dengan pakaian rapi ala perkantoran menggeliat,
seperti terbangun dari tidur. Ahmad
mengikuti dari belakang. Jelas teringat olehnya kata-kata si perempuan loket,
menyuruhnya untuk mencari tumpangan bus saja.
Mereka mengantri. Satu-satu diperiksa karcisnya. Satu
lagi yang terlupakan oleh Ahmad. Betul saja, karcis. Sampai di kesempatannya,
petugas bus yang berpakaian kelewat rapi seperti penumpangnya itu menyerngit.
“Tak punya karcis?”
“Perlu beli dulu, ya?” Ahmad berpura-pura tak tahu.
Sekali lagi, kepura-puraannya berbohong. Jadi banyak bohongnya ia, padahal baru
satu jam berada di kota ini.
Petugas itu memandangi Ahmad, seperti melakukan sensor
terhadap dirinya. “Kalau tidak kaya, tidak boleh masuk.” Mendengar kalimat itu,
Ahmad rasanya ingin tertawa terbahak-bahak. Tetapi ia tahan. Kalimat itu jarang
dilontarkan oleh manusia di kampugnya dulu, karena tidak mau dianggap
membeda-bedakan orang lain. Bagaimana pula petugas itu mengucapkannya dengan
lantang tanpa rasa malu akan dipikirkan seperti apa oleh penduduk-penduduk
disini.
“Maaf, Pak. Saya ini hanya pendatang, yang ingin
berkunjung ke rumah Bibinya. Sungguh, saya hanya akan berdiri di ujung bis,
sehingga penumpang lain tak perlu merasa tak nyaman.” Ahmad berusaha meyakinkan
petugas itu. Tetap, tetap, petugas itu tak bergeming. Ia menutup pintu bus
dengan wajah datar, layaknya robot dari masa depan, yang disebut-sebut semakin
mirip manusia nantinya.
Ada perasaan marah berkecamuk di diri Ahmad. Merasa tidak
diperlakukan dengan baik. Anehnya, tak ada yang peduli. Entah apa itu
pemandangan biasa di kota R, atau memang mereka tak ada yang memiliki belas
kasihan kepada sesama.
“Memang begini nasib kota ini,” suara itu seakan-akan
menjawab pertanyaan dalam diri Ahmad.
“Seharusnya kau tidak datang, Kawan.”
Ahmad menoleh untuk mencari sumber dari suara itu. Suara pria tua yang serak,
seperti orang penyakitan.
Benar saja, rupanya sendiri sudah merupakan sebuah
penyakit. Kumel sekali pakaian orang itu. Dekil pula wajahnya. Dibandingkan
dengan kerumunan yang mengantri bersamanya di halte, manusia ini duduk agak
jauh dari mereka. Entah bagaimana suaranya bisa begitu terdengar dari tempat
Ahmad berdiri saat ini.
“Sini.” Ucapnya sambil melambai-lambaikan tangannya
kepada Ahmad, seperti mengajaknya untuk ikut merasakan penderitaan yang
terpampang jelas di wajahnya. Ahmad ingin menggeleng atau membuang muka, tapi
ada panggilan aneh di pikirannya, yang menyuruhnya untuk menghampiri gembel
itu. Kata hati tak bisa berbohong, Ahmad sudah berdiri di samping gembel itu.
Agak jauh dari kerumunan manusia yang ingin kembali ke rumah.
“Percuma saja menunggu, bus yang kau tumpangi takkan
datang.”
“Mengapa?” Sok tahu betul gembel yang satu ini.Ahmad ikut
duduk bersamanya, meskipun masih member jarak “aman” antara keduanya.
“Karena tak ada.” Tawa gembel itu menyeruak. Begitu
besar. Dahsyat. Menjijikkan. Ahmad menoleh ke belakang, barangkali
manusia-manusia di halte itu peduli. Nyatanya, tak satu pun peduli, atau
menatap gembel itu.
“Kata perempuan di loket, ada.”
“Kalau begitu, dia berbohong,” pikiran gembel itu simpel.
“Sungguh, kau tak akan dapat tumpangan hari ini.”
Ahmad ingin tak percaya begitu saja dengan ucapan gembel
itu. Lagi-lagi kata hatinya, merasa ucapan gembel itu ada benarnya. Tak tahu
benar di bagian mana. Tetapi benar. Bus selanjutnya datang, kali ini Ahmad
hanya memandanginya.
“Bis Orang Pintar! Orang Pintar!”
Beberapa penduduk dengan tampang pintar pun masuk ke
dalam bus orang pintar itu. Aneh. Selama wajah mereka terlihat pintar, mereka
bisa masuk, tak ada namanya karcis-karcisan. Ahmad melihat pantulan wajahnya di
kaca halte. Tak ada wajah orang pintar, meskipun di kampungnya dulu ia
dikatakan anak pintar oleh kedua orang tuanya.
“Mengapa namanya bis Orang Pintar?” Rasa penasarannya
muncul.
Gembel itu terkekeh, memamerkan giginya yang berwarna
kuning. “Kawan, menurutmu sendiri, mengapa mereka menamai bis itu Orang Pintar?”
Balik bertanya ia.
“Karena semua orang yang boleh masuk, orang pintar?”
“Nah itu, pintar kau.”
“Tetapi, aku tidak boleh masuk? Kan, aku pintar.”
“Wajahmu tak ada pintar-pintarnya.”
Cemberutlah
Ahmad mendengarnya. Tapi, memang benar. Wajahnya kurang pintar dibandingkan
otaknya.
Tak berapa lama, bus lain muncul. Kali ini tak begitu
dihiraukan oleh Ahmad. Tahu ia bahwa tak sekalipun bisa menumpang bus manapun.
Karena ia yatim piatu. Tak kaya. Tak pintar pula. Cukup sudah penderitaannya di
dunia. Ahmad memutar otak agar sampai di rumah Bibinya.
“Kira-kira tidak ada tumpangan lain kah, di kota ini?
Kota ini kan sangat megah. Masa tak punya jenis transportasi lain?”
“Kawan, lihat sekitarmu. Keramaian yang membludak ini.
Apa mereka punya pilihan lain, selain mengikuti aturan kota ini, menaiki bus
setiap hari? Kemegahan kota ini semuanya bobrok. Bohong. Sangat tolol kalau kau
percaya. Aku saja, si gembel, tidak percaya.”
Bingung Ahmad harus menjawab apa. Aneh benar kota R ini.
Sampai-sampai membuat orang tak bisa berkata apa-apa. “Siapa sih yang membuat
peraturan begini? Bikin repot saja.”
Belum sempat terjawab oleh si gembel, keributan terjadi.
Seorang penumpang memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam bus ketenaran, dengan
mengaku-ngaku bahwa ia pandai berbicara dan segala macam keahlian yang
dibuat-buat. Semakin anehlah kota ini di mata Ahmad.
“Semua orang gila akan ketenaran, memang, memang, aku
juga berpikir seperti itu. Ingin sekali masuk ke dalam, merasakan sekali saja
jadi orang tenar. Barangkali bisa masuk surat kabar. Bangga sekali pastinya.”
Ahmad pun tersadar bahwa gembel ini juga sama seperti
manusia-manusia lain di kota R. Sama-sama aneh. Punya hasrat untuk mengkotak-kotakkan
manusia. Padahal manusia umumnya pasti tak sama. Ada saja yang berbeda. Tak
paham Ahmad dengan jalan pikiran mereka.
“Jangan kau bingung, Kawan. Kau anak baru disini. Belum
pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Tak punya pengetahuan, seperti
pengetahuan mereka. Jangan asal menyimpulkan.” Gembel itu, sekali lagi, membaca
pikiran Ahmad.
“Sok paham sekali kau terhadap mereka. Mereka yang tidak
peduli kepada seorang gembel sepertimu!” Kesal juga lama-lama meladeni si
gembel yang sok tahu itu. Pikiran Ahmad rumit. Antara sudah lelah, tapi tak
tahu harus berbuat apa.
Gembel itu sedikit terkejut dengan ucapan Ahmad yang ada
benarnya itu. Tetapi, tak mau mengiyakan. “Mereka belum mengenalku, tapi
seakan-akan tahu siapa diriku. Aku tentu tahu siapa mereka. Setiap hari,
kulihat wajah-wajah penuh hasrat dalam diri mereka. Mengantri, minta diberikan
jabatan setiap kali naik bis. Aku tahu. Aku tahu.” Biasanya orang yang
berbicara seperti itu, tidak tahu.
“Ah, terserahlah!” Ambruk juga Ahmad dengan segala emosi
dan ketahanan jiwanya meladeni gembel itu. “Aku kembali saja ke kampung.” Sudah
jauh-jauh datang, tak dianggap pula. Ahmad paham betul jenis manusia-manusia di
kota ini seperti apa. Manusia yang berpura-pura sebagai manusia. Kalau awalnya,
ia berpikir ia alien. Sekarang, mereka lah alien yang sebenarnya. Tapi,
pura-pura jadi manusia, biar berbaur.
Akhirnya segala kekhawatirannya mengenai makan gratis dan
tempat tinggal gratis pun sirna. Biarin saja, pikir Ahmad geram. Hidupnya jauh
lebih baik di kampung. Meskipun makan terbata-bata. Atap rumah bolong. Tak apa
sudah, ketimbang disini.
Ahmad bangkit dengan langkah pasti. Tak pedulilah ia
kepada si gembel itu. Tapi, entah mengapa, muncul belas kasihan dalam diri
Ahmad. Meskipun, sekalinya gembel itu buruk rupa, bau, dan aneh, tapi ia masih
mau berbicara kepadanya. Berbicara sendiri sudah menjadi pelipur lara bagi
Ahmad.
“Kau tak mau ikut ke kampungku? Barangkali tak megah
seperti kota ini, tapi bisa hidup tanpa aturan-aturan konyol. Punya teman bicara,
bahkan bisa saja disana kau jatuh cinta, dan beristri. Daripada jadi gembel.”
“Maaf, Kawan. Bukan menolak. Tapi, bagian dari diriku
sudah ada disini. Aku sudah punya mimpi disini, diundang memasuki salah satu bis
paling bergengsi di kota. Kelak aku pasti mampu. Kelak mereka semua akan
takluk. Lihat saja!” Mimpi gembel itu terlihat terlalu mewah untuk ukuran
seorang gembel. Tapi, Ahmad tidak mau menghentikannya. Setidaknya gembel itu
masih punya mimpi. Tak mau ikut campur ia terhadap mimpi seseorang. Kalau nanti
kejadian, barangkali gembel ini dapat mengangkat martabatnya. Ya, Ahmad mau
berpikir seperti itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar